https://jurnal.unw.ac.id/index.php/ijnr/issue/feedIndonesian Journal of Nursing Research (IJNR)2024-07-23T07:12:07+00:00Puji Purwaningsih, S.Kep., Ns., M.Kep[email protected]Open Journal Systems<div class="body"> <div class="description"> <div style="border: 2px #444F71 solid; padding: 3px; background-color: #f0ffff; text-align: left;"> <ol> <li class="show">Nama Jurnal: Indonesian Journal of Nursing Research (IJNR)</li> <li class="show">Singkatan: IJNR</li> <li class="show">Frekuensi: Mei & November</li> <li class="show">ISSN: Print 2656-9590 | Online 2615-6407</li> <li class="show">Editor in Chief:Puji Purwaningsih, S.Kep.,Ns., M.Kep.</li> <li class="show">DOI: 10.35473/IJNR</li> <li class="show">Akreditasi : -</li> <li class="show">Penerbit: Program Study of Nursing, Universitas Ngudi Waluyo, Indonesia</li> </ol> </div> <p>Indonesian Journal of Nursing Research (IJNR) is a journal of nursing published by Faculty of Nursing, Universitas Ngudi Waluyo, annually in May and November. IJNR welcomes any research-based as well as concept-based manuscripts dealing with its focus and scope</p> </div> </div>https://jurnal.unw.ac.id/index.php/ijnr/article/view/3141Perbedaan Tanda Neuropati Perifer Diabetik Sebelum dan Sesudah Dilakukan Senam Kaki Diabetik pada Penderita DM Tipe 2 di Desa Nglorog2024-06-12T03:46:52+00:00Umi Setyoningrum[email protected]Dhani Setyani[email protected]<p><em>Diabetes Melitus (DM) is a group of metabolic disease characterized by hyperglicemia resulting from defects in insulin secretion, insulin action, or both.the most common type of diabetes is type 2 of Diabetes Melitus. Type 2 of Diabetes Melitus has several complications, one of which is microvascular complication, that called neuropathy which result in decreased foot sensitivity. The appropriate diabetes management, one of wich is physical exercise with diabetic foot exercise. Diabetic foot exercise is a physical exercise that can be done by DM sufferers and non-DM sufferers with the aim of helping improve blood circulation in the legs. The aim To analyze different symptom of diabetic peripheral neuropathy before and after foot diabetic exercise on pasient with type 2 of Diabetes Melitus in Nglorog Village, Pringsurat District, Temanggung Regency. Research design with pre-experimental with one group pretest-posttest design with sampling technique using purposive sampling obtained 30 samples. Data analysis used the Wilcoxon statistical test. The result After the intervention of diabetic foot exercise, as many as 27 type 2 of DM patients experienced negative diabetic peripheral neuropathy. Bivariate analysis showed that there was an different symptom of diabetic peripheral neuropathy before and after foot diabetic exercise on type 2 of DM patients in Nglorog Village, Pringsurat District, Temanggung Regency with a p-value of 0.000. The results of this study can be used as input for the community, especially the residents of Nglorog Village to practice it independently in their respective homes to improve blood flow so that diabetic peripheral neuropathy does not occur.</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Diabetes Melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes yang paling sering terjadi adalah DM tipe 2. Diabetes Melitus tipe 2 memiliki beberapa komplikasi, salah satunya komplikasi mikrovaskuler yaitu neuropati yang mengakibatkan penurunan sensitivitas kaki. Manajemen diabetes yang baik, salah satunya adalah latihan fisik dengan senam kaki diabetik. Senam kaki diabetik adalah latihan fisik yang bisa dilakukan oleh penderita DM maupun bukan penderita DM dengan tujuan untuk membantu memperlancar peredaran darah bagian kaki. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis perbedaan tanda neuropati perifer diabetik sebelum dan sesudah dilakukan senam kaki diabetik pada penderita DM tipe 2 di Desa Nglorog, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung. Desain penelitian dengan pre eksperimental dengan rancangan one group pretest-postest dengan kuesioner skor Diabetic Neuropathy Symptoms (DNS) dengan teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling didapatkan 30 sampel. Analisis data menggunakan uji statistik Wilcoxon. Hasil setelah dilakukan intervensi senam kaki diabetik, sebanyak 27 penderita DM tipe 2 mengalami negatif neuropati perifer diabetik. Analisa bivariat menunjukkan ada perbedaan tanda neuropati perifer diabetik sebelum dan sesudah dilakukan senam kaki diabetik pada penderita DM tipe 2 di Desa Nglorog, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung dengan p value 0,000. Saran dari hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi mayarakat khususnya warga Desa Nglorog untuk mempraktikkanya secara mandiri di rumah masing-masing untuk memperlancar aliran darah sehingga tidak terjadi neuropati perifer.</p>2024-07-01T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 https://jurnal.unw.ac.id/index.php/ijnr/article/view/3179Gambaran Pendekatan Keluarga Dalam Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan terhadap Tingkat Pengetahuan Perawatan Penyakit Kronis2024-06-12T03:45:38+00:00Fiktina Vifri Ismiriyam[email protected]Wulansari[email protected]<p><em>The family approach is one form that can be taken by health workers to empower the potential of a family in increasing involvement in overcoming health problems. Family involvement in overcoming health problems is very necessary to increase the potential that exists within a family. Family potential will be optimal if the level of knowledge about care increases, and one way of increasing knowledge about health is obtained by providing health education. Family health problems will occur in families with a history of chronic disease in their family members. The aim of this research is to determine the level of knowledge of caring for a family with chronic disease health problems through health education using a family approach method. The method used is a pre-experimental research method, one group pretest-posttest. At the beginning of the activity, an assessment of family knowledge regarding caring for family members was carried out. Next, health education is carried out for the family and ends with a posttest assessment. The family approach chosen involves the involvement of some or all family members in health education activities. The results obtained from this activity were an increase in family knowledge about caring for family members with chronic illnesses. The conclusion is that health education with a family approach has an influence on increasing family knowledge. The suggestion is that the family approach be implemented sustainably and can use indirect face-to-face as well</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Pendekatan keluarga merupakan salah satu bentuk yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk dapat memberdayakan potensi dari sebuah keluarga dalam meningkatkan keterlibatan dalam mengatasi masalah kesehatan. Keterlibatan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan potensi yang ada di dalam sebuah keluarga. Potensi keluarga akan optimal jika Tingkat pengetahuan tentang perawatan meningkat, dan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan salah satunya didapatkan dengan cara pemberian Pendidikan kesehatan. Masalah kesehatan keluarga akan terjadi pada keluarga dengan Riwayat penyakit kronis pada anggota keluarganya. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tingkat pengetahuan perawatan sebuah keluarga dengan masalah kesehatan penyakit kronis melalui pendidikan kesehatan dengan metode pendekatan keluarga. Metode yang digunakan adalah menggunakan metode penelitian pra eksperimen one group pretest-posttest. Pada awal kegiatan dilakukan penilaian pengetahuan keluarga tentang perawatan anggota keluarga. Selanjutnya dilakukan edukasi kesehatan pada keluarga dan diakhiri dengan penilaian posttest. Pendekatan keluarga yang dipilih melalui keterlibatan Sebagian atau seluruh anggota keluarga mengikuti kegiatan Pendidikan kesehatan. Hasil yang didapatkan dari kegiatan ini adalah terjadi peningkatan pengetahuan keluarga tentang perawatan anggota keluarga yang sakit penyakit kronis. Kesimpulannya bahwa pendidikan kesehatan dengan pendekatan keluarga memiliki pengaruh terhadap peningkatan pengetahuan keluarga. Sarannya adalah pendekatan keluarga dilaksanakan keberlanjutan dan dapat menggunakan tatap muka tidak langsung juga.</p>2024-07-01T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 https://jurnal.unw.ac.id/index.php/ijnr/article/view/3132Hubungan Tingkat Keamanan Lingkungan dengan Risiko Jatuh pada Lansia di Panti Wredha 2024-05-28T06:50:48+00:00Septiani Tri Sutrisni[email protected]Amik Muladi[email protected]<p><em>Auditory hallucinations or auditory-hearing voices or sounds are the most common type of hallucination. Clients who experience hallucinations have sensory disturbances or distortions, but the client responds to them as the real thing. Hallucinations must be the focus of our attention because if hallucinations are not handled properly, they can pose a risk to the patient's safety, other people, and the surrounding environment. The general hallucinatory intervention given is SP 1 – SP 4. Another additional therapy given to clients with auditory hallucinations is a combination of rebuking and dhikr to reduce the level of hallucinations. Hallucinations with rebuke can be used to control auditory hallucinations. Whereas psycho-religious therapy (dhikr and prayer) is a psychiatric therapy at a higher level than ordinary psychotherapy, this is because by dhikr or praying there is a spiritual element that can awaken one's hope and self-confidence. After implementing it for 7 consecutive days with a time of 15-30 minutes in 2 patients with auditory hallucinations, it was found that there was a decrease in the level of hallucinations as measured using the AHRS scale. Therefore, giving rebuke and dhikr therapy is able to reduce symptoms and the level of hallucinations in patients.</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Halusinasi pendengaran atau suara atau suara pendengaran adalah jenis halusinasi yang paling umum. Klien yang mengalami halusinasi mempunyai gangguan atau distorsi sensorik, namun klien menyikapinya sebagaimana adanya. Halusinasi harus menjadi fokus perhatian kita karena jika halusinasi tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan risiko bagi keselamatan pasien, orang lain, dan lingkungan sekitar. Intervensi halusinasi umum yang diberikan adalah SP 1 – SP 4. Terapi tambahan lain yang diberikan pada klien halusinasi pendengaran adalah kombinasi teguran dan dzikir untuk menurunkan tingkat halusinasi. Halusinasi dengan teguran dapat digunakan untuk mengendalikan halusinasi pendengaran. Sedangkan terapi psikoreligius (dzikir dan doa) merupakan terapi kejiwaan yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan psikoterapi biasa, hal ini dikarenakan dengan berdzikir atau berdoa terdapat unsur spiritual yang dapat membangkitkan harapan dan rasa percaya diri seseorang. Setelah dilaksanakan selama 7 hari berturut-turut dengan waktu 15-30 menit pada 2 pasien halusinasi pendengaran ditemukan adanya penurunan tingkat halusinasi yang diukur menggunakan skala AHRS. Oleh karena itu pemberian terapi teguran dan dzikir mampu menurunkan gejala dan tingkat halusinasi pada pasien.</p>2024-07-18T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 https://jurnal.unw.ac.id/index.php/ijnr/article/view/2651Analisis Asuhan Keperawatan pada Pasien Halusinasi Pendengaran dengan Penerapan Terapi Menghardik dan Berdzikir terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi2024-06-12T07:22:15+00:00Mardiangra Defrilianda[email protected]Dewi Kurnia Putri[email protected]Rezky Pradessetya[email protected]Aulya Akbar[email protected]<p><em>Auditory hallucinations or auditory-hearing voices or sounds are the most common type of hallucination. Clients who experience hallucinations have sensory disturbances or distortions, but the client responds to them as the real thing. Hallucinations must be the focus of our attention because if hallucinations are not handled properly, they can pose a risk to the patient's safety, other people, and the surrounding environment. The general hallucinatory intervention given is SP 1 – SP 4. Another additional therapy given to clients with auditory hallucinations is a combination of rebuking and dhikr to reduce the level of hallucinations. Hallucinations with rebuke can be used to control auditory hallucinations. Whereas psycho-religious therapy (dhikr and prayer) is a psychiatric therapy at a higher level than ordinary psychotherapy, this is because by dhikr or praying there is a spiritual element that can awaken one's hope and self-confidence. After implementing it for 7 consecutive days with a time of 15-30 minutes in 2 patients with auditory hallucinations, it was found that there was a decrease in the level of hallucinations as measured using the AHRS scale. Therefore, giving rebuke and dhikr therapy is able to reduce symptoms and the level of hallucinations in patients.</em></p> <p><em> </em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Halusinasi pendengaran atau suara atau suara pendengaran adalah jenis halusinasi yang paling umum. Klien yang mengalami halusinasi mempunyai gangguan atau distorsi sensorik, namun klien menyikapinya sebagaimana adanya. Halusinasi harus menjadi fokus perhatian kita karena jika halusinasi tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan risiko bagi keselamatan pasien, orang lain, dan lingkungan sekitar. Intervensi halusinasi umum yang diberikan adalah SP 1 – SP 4. Terapi tambahan lain yang diberikan pada klien halusinasi pendengaran adalah kombinasi teguran dan dzikir untuk menurunkan tingkat halusinasi. Halusinasi dengan teguran dapat digunakan untuk mengendalikan halusinasi pendengaran. Sedangkan terapi psikoreligius (dzikir dan doa) merupakan terapi kejiwaan yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan psikoterapi biasa, hal ini dikarenakan dengan berdzikir atau berdoa terdapat unsur spiritual yang dapat membangkitkan harapan dan rasa percaya diri seseorang. Setelah dilaksanakan selama 7 hari berturut-turut dengan waktu 15-30 menit pada 2 pasien halusinasi pendengaran ditemukan adanya penurunan tingkat halusinasi yang diukur menggunakan skala AHRS. Oleh karena itu pemberian terapi teguran dan dzikir mampu menurunkan gejala dan tingkat halusinasi pada pasien.</p>2024-07-18T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 https://jurnal.unw.ac.id/index.php/ijnr/article/view/3200Family-Based Diabetes Self-Management Education terhadap Self Care dan Self-Efficacy2024-06-10T03:29:22+00:00Dwi Yuniar Ramadhani[email protected]Rukmini[email protected]Sindy Maullina Anggraeni[email protected]Diva Sukma Larasati[email protected]Intan Elisya[email protected]Indri Vidia[email protected]<p><em>Diabetes mellitus is caused by disorders of high blood glucose levels. Lack of self-care and self-efficacy will result in uncontrolled blood sugar levels, causing complications. This research aims to determine the effect of family-based Diabetes Self-Management Education on self-care and self-efficacy in diabetes mellitus sufferers in the Sidotoopo Wetan Region. This research is quantitative research with a Pre-Experimental approach with a one-group pretest Post-test design, with Family Based Diabetes Self-Management Education intervention. The population of elderly people suffering from diabetes mellitus is 30 people, the sample is the entire population, and the sampling technique used is the total population. Data was taken using the SDCSCA and DSMES questionnaires. The statistical tests used are the Wilcoxon test and paired T-test. Research Results show an influence of Family Based Diabetes Self-Management Education on Self-Care and Self-Efficacy with the results of self-care (p value=0.000) and self-efficacy (p value=0.000).Diabetes mellitus sufferers can maintain good self-care and self-efficacy to avoid complications, and the family also plays an important role in maintaining blood sugar stability by supporting and facilitating treatment, monitoring blood sugar, nutritional food consumed, and exercise.</em></p> <p><em> </em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Diabetes melitus disebabkan oleh gangguan kadar glukosa darah yang tinggi. Kurangnya perawatan diri dan efikasi diri akan mengakibatkan kadar gula darah tidak terkontrol sehingga menimbulkan komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Pendidikan Self-Management Diabetes Berbasis Keluarga Terhadap Self Care dan Self-Efficacy Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Wilayah Sidotoopo Wetan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan Pre-Experimental dengan desain one-group pretest Post-test, dengan intervensi Family Based Diabetes Self-Management Education. Populasi lansia yang menderita diabetes melitus berjumlah 30 orang, sampelnya adalah seluruh populasi, dan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total populasi. Data diambil dengan menggunakan kuesioner SDCSCA dan DSMES. Uji statistik yang digunakan adalah uji Wilcoxon dan uji T berpasangan. Hasil Penelitian menunjukkan adanya pengaruh Family Based Diabetes Self-Management Education terhadap Self-Care dan Self-Efficacy dengan hasil perawatan diri (p value=0,000) dan self-eficacy (p value=0,000).Penderita diabetes melitus dapat mempertahankan perawatan diri dan efikasi diri yang baik agar terhindar dari komplikasi, dan keluarga juga berperan penting dalam menjaga kestabilan gula darah dengan mendukung dan memfasilitasi pengobatan, pemantauan gula darah, nutrisi makanan yang dikonsumsi, dan olah raga.</p>2024-07-18T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 https://jurnal.unw.ac.id/index.php/ijnr/article/view/3328Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Rawat Inap Ulang pada Pasien CHF di RSUD Dr. Gunawan Mangunkusumo 2024-07-23T07:12:07+00:00Devanda Ivo Teresia[email protected]Gipta Galih Widodo[email protected]Ummu Muntamah[email protected]Zumrotul Chaerijah[email protected]<p><em>CHF patients are often re-hospitalized due to recurrence causing despair and fear of death. Several factors that influence re-hospitalization are family support, adherence to medication therapy and adherence to a low-salt diet Objective: To determine the factors associated with the incidence of re-hospitalization in congestive heart failure patients. The design of this research uses descriptive correlational with a cross sectional approach. The population studied was CHF patients at RSUD Dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa with a sample size of 34 people was taken using accidental sampling technique. Data analysis used chi square which was processed using the SPSS data processing program. Results: Family support was mostly in the good category (55.9%), medication therapy compliance was mostly in the low category (52.9%), low salt diet compliance was mostly in the low category (52.9%), the incidence of re-hospitalization was mostly in the high category. (64.7%). There was a significant relationship between family support (p-value = 0.006), adherence to medication therapy (p-value = 0.040) and low-salt diet adherence (p-value = 0.006) with the incidence of re-hospitalization. Family support, adherence to medication therapy and adherence to a low salt diet are associated with the incidence of re-hospitalization. Suggestion: CHF patients must comply with drug therapy and a low-salt diet that has been determined by showing an observation sheet at each check-up to avoid re-hospitalization</em></p> <p> </p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Pasien-pasien CHF sering rawat inap ulang akibat adanya kekambuhan menyebabkan putus asa dan takut kematian. Beberapa faktor yang mempengaruhi rawat inap ulang adalah dukungan keluarga, kepatuhan terapi pengobatan dan kepatuhan diet rendah garam. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian rawat inap ulang pada pasien gagal jantung kongestif. Desain pada penelitian ini menggunakan deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi yang diteliti pasien CHF yang pernah menjalani rawat inap ulang di RSUD Dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa dengan jumlah sampel 34 orang diambil dengan teknik accidental sampling. Analisis data yang digunakan chi square yang diolah dengan SPSS. Dukungan keluarga sebagian besar kategori baik (55,9%), kepatuhan terapi pengobatan sebagian besar kategori rendah (52,9%), kepatuhan diet rendah garam sebagian besar kategori rendah (52,9%), kejadian rawat inap ulang sebagian besar kategori tinggi (64,7%). Ada hubungan yang bermakna dukungan keluarga (p-value = 0,006), kepatuhan terapi pengobatan (p-value = 0,040) dan kepatuhan diet rendah garam (p-value = 0,006) dengan kejadian rawat inap ulang. dukungan keluarga, kepatuhan terapi pengobatan dan kepatuhan diet rendah garam berhubungan dengan kejadian rawat inap ulang. Pasien CHF harus mematuhi terapi obat dan diet rendah garam yang telah ditentukan dengan menunjukkan lembar observasi setiap kali kontrol agar tidak terjadi rawat inap ulang.</p>2024-07-31T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024